Setelah dijelaskan sebelumnya tentang bagaimana negara - negara menghadapi kejahatan telematika transnasional, berikut di bawah ini dijelaskan adanya masalah yang timbul pada kejahatan yang dilakukan di yuridiksi yang berbeda.

Permasalahan yurisdiksi ini kemudian timbul ketika masing – masing negara mengklaim memiliki ketentuan yurisdiksi tersendiri dalam menangani kejahatan telematika. Beberapa prinsip yang mendasari klaim tersebut adalah :

Prinsip Territorial Claims
Pada prinsip teritorial klaim ini negara-negara memiliki ketentuan hukumnyaberdasarkan :
1.       Lokasi dimana kejahatan telematika dilakukan
Dalam Konvensi Cyber Crime pada Pasal 2 sampai Pasal 11 menyatakan, bahwa setiappeserta konvensi berhak menetapkan yursidiksinya terhadap setiap kejahatantelematika yang dilakukan didalam wilayah teritorialnya. Contohnya, apabila X seseorang dari Jerman mengirim virus melalui E-Mail kepada Y seseorang yang beradadi Indonesia, kemudian Y menyebarkan virus tersebut di Indonesia, maka X dapatdikenai pidana berdasarkan hukum Jerman. Hanya saja ketentuan ini akan sulitdibuktikan terutama apabila tidak adanya klaim dari pihak yang dirugikan.
2.       Lokasi dimana komputer sebagai alat kejahatan berada pada hukum telematika Singapura terdapat ketentuan mengenai apabila computer sebagai media kejahatan telematika berada didalam yurisdiksi Singapura, maka pemerintah Singapura memiliki kewenangan untuk menangkap dan mengadili pelakunya, meskipun pelakunya adalah bukan warga negara Singapura. Mengingat bahwa akibat dari kejahatan tersebut bisa berdampak baik pada warga Singapura ataupun diluar Singapura. Contohnya kasus Danny, seorang pelajar Indonesia yang diadilidi Singapura karena melakukan hacking  pada beberapa situs baik situs Singapura atausitus dari luar singapura, akan tetapi tindakannya dilakukan di Singapura.
3.       Lokasi Korban Kejahatan Telematika 
Lokasi korban kejahatan telematika ini menjadi hal yang krusial yang ada pada yurisdiksi kejahatan telematika. Pada kejahatan Child Phornography, Negara A bisa mengklaim untuk menghukum pelaku child phornography, meski pelaku adalah warganegara B, apabila terbukti bahwa korban adalah anak-anak di negara A.

Prinsip Personality Claims
Setelah prinsip teritorial klaims, personality Claims merupakan prinsip berikutnya dalam yurisdiksi kejahatan telematika. Dalam Konvensi Cyber Crime, diatur mengenai personality claim bagi pelakukejahatan telematika. Pasal 22 Konvensi mengatur bahwa “The Cybercrime Convention requires parties to establish jurisdiction “when the offence is committed (. . .) by one of its nationals, if the offence is punishable under criminal law where it was committed or if the offence is committedoutside the territorial jurisdiction of any State.” Hanya saja di masing-masing Negara pesertaKonvensi Cyber Crime memiliki interpretasi yang berbeda. Jerman memiliki ketentuan mengenai pemidanaan bagi warga Negara Jerman yang melakukan kejahatan telematika diluar wilayah Jerman, apabila tindakan tersebut juga dianggap sebagai kejahatan telematika oleh hukum negara dimana kejahatan tersebut dilakukan.
Contohnya, tindakan spy menggunakan keylogger  di wilayah hukum Jerman adalah kejahatan telematika, akan tetapi Gaul seorang warga Negara Jerman melakukan tindakan tersebut di wilayah Fiji, yangnotabene tidak mengatur bahwa tindakan Spy adalah kejahatan, sehingga Gaul tidak dapat dipidana. Akan tetapi, ketika seorang warga Jerman melakukan akses tanpa ijin pada system computer di Amerika, kemudian orang tersebut kembali ke Jerman, maka pemerintah Jerman dapat menangkap dan mengadili orang tersebut karena melakukan kejahatan telematika dan melanggar hukum federal tentang cybercrime di Amerika.Selain itu yurisdiksi kejahatan telematika mengenal personality claim dari sisikorban. Di Amerika, ketentuan hukum federal Amerika mengenai cyber crime yang diaturpada U.S. Code no. 1030 mengatur mengenai yurisdiksi untuk mengadili bagi siapa saja yang melakukan sabotase pada system computer milik pemerintah Amerika. Meskipunkejahatan tersebut dilakukan diluar wilayah Amerika. Hal ini serupa dengan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu “Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.” Hanya permasalahannya selalu terbentur pada masalah extradisi, karena tidak semua Negaramemiliki perjanjian ekstradisi yang berlaku bagi pelaku kejahatan telematika.

Prinsip Perlindungan
Konsep ini dapat diterapkan oleh setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonominya. Prinsip ini dapat diterapkan terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayahnya tetapi diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaan negara tersebut. Contohnya, pada tahun 2004 seorang Hacker Amerika memainkan “wargames” dan menyelundup kedalam sistem keamanan nasional Inggris. Sistem keamanan Inggris ini digunakan untuk memeras pemerintah Inggris. Sehingga Pemerintah Inggris menuntut hacker tersebut untuk diekstradisi dan diadili diInggris, akan tetapi pihak Amerika mengklaim bahwa Pemerintah Amerika yang berhak untuk menerapkan yurisdiksinya.

Prinsip Universal
Untuk beberapa kejahatan telematika tertentu seperti kejahatan child phornography, perdagangan anak dan perempuan lewat internet, terorisme (contohnya transfer dana untuk kegiatan terorisme melalui elektronik perbankan) dan jual beli narkotika melalui internet, maka banyak negara yang mengklaim kejahatan tersebut dapat dipidana dinegaranya berdasarkan prinsip universal. Dari paparan di atas, hal yang timbul menjadi pertanyaan adalah bagaimana negara – negara di dunia menangani kejahatan telematika yang bersifat transnasional.
Langkah-langkah yang dapat diambil adalah :
1.   Adanya persamaan persepsi dari negara – negara  mengenai bentuk kejahatan telematika apa saja yang dianggap sebagai kejahatan telematika yang bersifat transnasional.
2.     Adanya kerjasama antar negara berkaitan dengan alih teknologi dalam usaha melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan telematika
3.     Adanya kesamaan persepsi mengenai digital evidence pada hokum nasional setiap negara
4.   Membentuk perjanjian internasional atau regional mengenai kejahatan telematika. Saat ini hanya Eropa yang memiliki Konvensi mengenai Cyber Crime, akan tetapi tidak menutup kemungkinan negara lain dapat meratifikasi konvensi tersebut.
5.  Adanya perjanjian ekstradisi bagi pelaku kejahatan telematika atau setidaknya kerjasama Mutual Legal Assistance

Tujuan dari paparan tersebut diatas adalah untuk menginformasikan bahwa, saat ini kejahatan telematika telah menjadi masalah tidak hanya bagi satu Negara tapi hamper seluruh negara, karena sifatnya yang transnasional. Seyogyanya tidak ada satu negara pun yang bisa menjadi tempat perlindungan bagi siapa pun pelaku kejahatan telematika, termasuk Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik, maka kita berharap agar Indonesia tidak lagi menjadi ‚’safe heaven’ bagi pelaku kejahatan telematika. Hal ini juga harus didukung oleh peningkatan pengetahuan atas teknologi informasi dan komunikasi baik dari para aparat penegak hukum misalnya polisi, hakim dan jaksa, juga adanya sosialisasi terhadap masyarakat berkaitan dengan kejahatan telematika itu sendiri.



Kejahatan Telematika Sebagai Kejahatan Transnasional 2

Posted on

Friday, November 2, 2012

Category

Leave a Reply